VALIDASI DAN APPROVAL
Validation
/ˌvælɪˈdeɪʃn/
[n] the act of proving that something is true
or correct.
Approval
/əˈpruːvl/
[n1]
the feeling that somebody/something is
good or acceptable; a positive opinion of somebody/something.
[n2]
agreement to, or permission for
something, especially a plan or request.
*Going hang out.
Scroll.Click. *Typing
some caption for WhatsApp Status.Update.
Scroll.Click.*Typing. Tweet.
Scroll. Click.*Typing
and inserting some gifs on Instagram story. Send.
Tiap-tiap
nengok timeline, mau Twitter, Instagram, atau WhatsApp,
ada aja yang buat update (termasuk
diri gue sendiri), entah itu foto, teks, atau video.
Dari
kalimat yang isinya sambat, sedih, gossip, jokes, apresiasi, nasihat hidup,
sampe pamer pun ada. Semuanya ada.
Bentar
deh, gue cek dulu profil gue, dan ternyata gue juga pernah ngetik kalimat itu
dan gue update di media sosial (shame on
me). Kalo dipikir-pikir, sebenernya mereka risih dan keberatan nggak sih
baca kalimat-kalimat yang gue update? Gue liat status gue sendiri aja risih. Bahkan
ada beberapa status yang menurut gue itu private
tapi tetep gue update (cry on myself).
Gue
jadi bertanya-tanya, sebenernya apa sih batasan private di media sosial? Apa sih yang bisa menganggap suatu momen
layak dishare?
Makin
gue scroll profil orang-orang, makin
sadar kalo ternyata temen-temen gue memercayakan isi kepalanya ke gue. Gue bisa
liat status WhatsApp mereka. Perasaan
gue nggak deket-deket banget sama mereka wkwk. Bahkan di Instagram gue dimasukkin ke closefriend
listnya, perasaan sapa menyapa di
dunia nyata aja nggak pernah wkwk.
Begitu
juga dengan diri gue sendiri (smh, dude). Gue juga terlalu memercayakan
pikiran gue ke orang lain. Gue sering banget ngeluh tentang nugas, ngeluh sama
orang-orang yang nggak pengertian, dan ngeluh atas kesulitan hidup ini. Dan ternyata
ada pula status yang gue update itu humble
bragging (Sorry myself :”( ).
Gue
jadi nanya ke diri gue sendiri: buat apa coba mereka tahu el?
Gue
kan jadi mikir lagi nih, apakah bener kalo kita lagi sedih, marah, atau seneng
itu butuh pengakuan orang lain? Kalo kita lagi mencurahkan segala rasa,
pendapat, sama pikiran di media sosial ini secara nggak sadar juga ingin
dimengerti dan dianggap wajar sama orang-orang di sekitar kita?
Dan
pertanyaan yang perlu digarisbawahi dan dicetak tebal, Apakah kita pengen hidup ini tervalidasi dan diapproval sama publik demi konfirmasi kalo idup kita udah sesuai
sama kewajaran di era fear of missing out
ini?
Right,
fenomena yang dikit-dikit [harus] diupdate
atau diupload ke media sosial
udah jadi fenomena yang dianggap umum. Coba deh:
Siapa
sih yang nggak pengen direply, dikasihani,
dan disemangatin tiap ngeluh akan masalah hidup di media sosial?
Siapa
sih yang nggak pengen direply terus
dipuji disanjung kalo update
berkaitan sama prestasi?
Siapa
sih yang nggak pengen direply ‘wkwkwk
lucu deh’ tiap update jokes lawakan
semacam 9gag atau 1cak?
Siapa
sih yang nggak pengen dicie-ciein tiap update
momen bareng pasangannya?
Siapa
sih yang nggak pengen dilike postnya tiap update foto ke tempat yang aesthetic?
Yup, perlu
digarisbawahi dan dicetak tebal lagi.
Secara nggak sadar,
naluri manusia memang haus akan validasi dan approval orang lain.
Mengutip
dari Thariq Izzah (2019), Manusia (apalagi manusia di era yang mana ditinggal
merem sedetik udah ketinggalan 10 gossip) memang butuh validasi supaya manusia
alias kita ini merasa dan yakin kalo diri kita itu orang dengan atribut
tertentu.
Nggak
cuma itu, validasi itu dicari sebagai konfirmasi kalo diri ini orang yang lucu
lah, bijak lah, keren lah, banyak prestasi lah, kaya 7 turunan lah, suka nolong
lah, dan masih banyak deh hmmm.
Nggak
jarang kalo validasi dibutuhin kalo kita lagi berkeadaan tertentu, misalnya
lagi kena musibah, lagi jatuh cinta, lagi seneng, lagi sedih, apa-apa merasa
butuh konfirmasi perasaan dan emosi dari orang lain yang mungkin relatable dan empati (walaupun jadi-jadian).
Tapi,
Apa tydack capek butuh validasi
terus-terusan dari orang lain?
Bukannya haus akan validasi orang
lain jadi ngebikin hidup ini nggak bebas?
Padahal
sejatinya diri kita sendiri lah yang bisa mendefinisakn hidup kita ini seperti
apa.
Diri
kita sendiri yang bertanggung jawab akan validasi hidup ini.
So, don’t depend on other’s opinion
to value yourself.
Apa-apa
harus diakui, apa-apa harus diupdate? Apa tidak capek?
Lagian
manusia diciptakan sebagai makhluk yang punya rasa, rasional, dan bermoral,
udah seharusnya wajar kalo manusia melangkah sesuai rasionalitas mereka sendiri,
tanpa harus divalidasi sama orang lain.
Tulisan
gue setelah kalimat ini kayaknya perlu diresapi (untuk gue sendiri dan orang-orang
yang baca tulisan ini).
Gue
sadar kalo ternyata media sosial ini udah ngebuat kita kehilangan sense of awareness terhadap diri
sendiri.
Dari
yang punya persepsi dalam diri sendiri jadi basisnya ke persepsi pendapat publik.
Media
sosial jadi ngebuat kita terlalu sibuk menilai dan ngedengerin pendapat orang
lain terhadap diri kita sendiri. Sebaliknya, jarang banget kita nilai diri
sendiri ini yang pure dari judgement pribadi.
Hidup
di zaman sekarang ini kayak-kayak ‘mewajibkan’ diupdate di media sosial.
Seakan-akan
bukti kalo lagi enjoy the moment.
Padahal
ya nggak ada hukum wajib kayak gitu.
Makan
mi instan doang diupdate (gue banget
plak).
Lagi
nangis di-‘pap’ diupdate ke media
sosial.
Update status
*inserting photo with Balenciaga shopping
bag* dan tidak ketinggalan caption
dengan ‘Makasih ya jajannya hari ini’
Nikahan
atau wisudaan seakan-akan ‘wajib banget’ kasih ucapan selamat ditaruh dipajang
di story instagram.
Kalo
nggak update dikira musuhan sama
temen sendiri atau putus silaturahmi.
Update status
lagi di lampu bangjo posisi tangan lagi di setir bunder alias naik mobelll.
Halo?
Hukum apa ini?
Yuk, pelan-pelan hidup bebas tanpa
haus akan validasi publik.
Bayangin
deh betapa senengnya kita dulu melalukan segala kegiatan tanpa perlu update dan haus akan validasi public di media sosial?
Lo anak 1990-an? Coba lo inget lagi dulu pas SD nggak ada yang namanya update status main bekel atau kelereng,
dan kita hidup bahagia kan?
Coba
deh balik lagi ke era 70-an, atau nggak usah jauh-jauh deh, tahun 2000an awal, contoh
kecil nih, nggak ada tuh yang namanya ngucapin ulang tahun lewat story dan haus
akan validasi publik kalo lagi ulang tahun, iya kalo ngucapinnya tulus dari
hati bukan karena ‘yang penting aku ngucapin di ig story’ like what? Bukannya doa tulus itu yang terpenting? Masalah
embel-embel lain itu bonus dan bukan nomor satu.
Gue
paham kok suatu momen itu emang sebaiknya dikenang, tapi sebagai manusia yang
rasional juga alangkah baiknya ditimbang-timbang dengan matang deh, apakah
perlu disebarluaskan ke public atau lebih baik jadi konsumsi memori kita
sendiri, and yes sharing feelings whether
happiness and sadness itu tidak salah juga kok. Kita yang publish, kita juga yang akan tahu
efeknya dan sebaiknya sudah mengantisipasi.
Buat
penutup dan buat reminder, Thariq Izzah ada pesan nih buat kita semua, dan gue
rasa pesan itu layak buat renungan terhadap diri kita sendiri (khususnya buat
gue diri sendiri yang ngetik ulang):
Lo
nggak butuh kalimat pujian buat ngerasa keren dan banyak prestasi.
Lo
nggak butuh iba mereka buat ngerasa dikasihani atas masalah yang kamu hadapi.
Lo
nggak butuh ucapan semangat mereka buat jadi semangat lagi.
Lo
nggak butuh konfirmasi public kalo lo lagi saying sama orang.
Lo
nggak butuh validasi buat percaya kalo lo itu orang yang baik.
Lo
adalah yang lo rasain, enjoy the moment
please.
Sekali
lagi (untuk diri gue sendiri dan lo yang baca ini)
Apa
tidak capek butuh validasi dan approval
terus-terusan? (Capek lah hiks)
Tulisan
ini gue post untuk reminder diri gue
sendiri.
And this is my very first post for
2021
and Happy new year every1!
rosesarered xoxo
Kebumen, 1 Januari 2021
2 komentar
Anjir. Serasa ditabok online. Tapi, bener sih. Gw adalah orang yang biasa hapus status setelah 5 menit upload.
BalasHapusKenape gw bikin status kaya gini?
Sigh!
Trims tulisan panjangnya. Seneng akutu diingatkan kaya gini.
Wow ada yang relate juga ternyata :')
HapusThank you udah berkenan baca post ini! Have a nice day and stay healthy!