Apatis

By Elma Rosalia Malinda - 19.00

APATIS



Apatis/apa.tis/
a acuh tak acuh; tidak peduli; masa bodoh.

“Ah, ngambis mulu dah”,
“Lo cuma medulin diri lo sendiri el”.
“Wah el, berani-beraninya lo lari dari kerjaan ini”,
“Kumpul el, gimana sih, malah asyik balik ke rumah”,
“Eh lo blur banget sih, jangan mikirin urusan lo sendiri dong el!”,
“El, ini diurus dong, apa iya gue mesti demo dulu biar lo ngerjain tugas ini?!”,
“Ah, alesan lo itu-itu mulu, sininya nggak butuh alesan, kita butuh lo disini buat ngerjain asdfghjkl”,
“Wah, kalo lagi dicari aja pasti ngilang nih bocah, dasar bocah-bodo-amat!”,
“Dasar elma si makhluk apatis!”.

Tak apa,
Lontarkanlah sekali lagi kepadaku lontaran-lontaran itu,
Aku tidak keberatan karena aku hanya punya dua pilihan atas lontaran-lontaranmu.
Pilihan pertama, kuanggap angin lalu dan terus menyusuri sisa hidup-yang-kuharap-akan-bahagia.
Atau,
Pilihan terakhir, lontaran-lontaran itu adalah jawaban sebagai alasan untuk memutus urat nadi pada pergelangan tangan.
Tapi, nyatanya aku tak pendek-pemikirannya tentang mengambil pilihan yang terakhir, tahu bahwa aku harus menghadapi dunia yang keras ini apapun dan bagaimanapun sedih atau bahagianya nanti.
Jadi, aku memilih pilihan yang pertama, terus hidup-dengan-cap-makhluk-apatis-dan-berusaha-menghilangkan-cap-itu sampai ajal menjemput.

Ide menulis konten ini bersumber dari akar permasalahan sepele dimana aku terihat rabun/ semu/ pseudo/ tidak aktif dalam keterlibatanku pada suatu urusan.

Jadi, jelaslah kau atau kalian atau dia atau mereka atau pula diriku menganggap bahwa aku ini makhluk apatis.

Struggle dan keantusisan sebesar apapun dan sepeduli apapun aku jika kalian masih memandangku sebagai makhluk yang apatis maka sampai mati pun aku terkesan menjadi makhluk-ter-apatis.

Acuh tak acuh
Kalau kau anggap aku acuh tak acuh, aku tidak akan melarangmu karena itu anggapanmu.
Sah-sah saja jika kau beranggapan aku adalah orang yang memiliki sifat acuh tak acuh.

Tidak peduli
Sebenarnya aku peduli, tapi ada hal lain yang lebih kuprioritaskan.
Tangga prioritas dan peduliku adalah Keluarga barulah orang lain.
“Jadilah pendengar untuk dirimu sendiri, siapkan telinga untuk mendengarkan setiap keluh kesahmu. Tangisilah kesedihanmu jika perlu. Sebab, di dunia ini tidak ada yang benar-benar peduli pada masalahmu.”- Chatreen Moko.

Masa bodoh
Jika kau dihadapkan oleh kedua pilihan di bawah ini, mana yang akan kau pilih untuk kau tanggapi menjadi masa-bodoh-mu?
1.       Tugas dosen yang harus dikumpulkan pada hari itu juga
2.       Orang tua masuk rumah sakit
Perumpamaan yang tak penting, tapi berat maknanya jika kau dihadapkan oleh kedua situasi dan pilihan tersebut dalam waktu yang bersamaan. Bagi beberapa orang yang gila nilai pasti akan memilih masa bodoh terhadap pilihan kedua, dan bagi beberapa orang lainnya yang peduli akan keluarganya akan memilih masa bodoh terhadap tugas yang diberikan oleh dosen-atau-siapalah-yang-memberikan-tugas-itu.

Kau pasti bertanya-tanya mengapa aku bisa seapatis ini?
Jujur, aku hanya mempunyai satu alasan.
Alasannya yaitu…
Aku dihadapkan oleh kenyataan bahwa aku adalah seorang anak tunggal yang mengalami broken family.
Dimana hampir pada sepertiga malam aku menangis dalam obrolan whatsapp ibuku (baik chat, voice call, maupun video call).
Bagaimana mungkin sebagai satu-satunya anak di keluarga ini masih bisa memerdulikan hal lain ketika ibunya sedang menghadapi kenyataan itu? Anak setega mana yang masih memerdulikan dan mengindahkan tugas dan organisasi ketika ibunya butuh telinga untuk mendengar dan bahu untuk bersandar?
Jadi, aku putuskan bahwa peduli pertamaku adalah keluarga, tidak, ibu lebih tepatnya.
Kenyataan inilah yang membuatku bersikap apatis.
Untuk catatan, Kau belum tahu bukan bahwa broken family itu berbeda dengan anak broken home?
Aku tahu banyak teman-teman disekelilingku juga harus mengahdapi kenyataan itu, tapi masing-masing individu mempunyai situasi dan kondisi yang berbeda-beda.
Sebagian anak broken home/ broken family ada yang sudah menghadapinya dengan santai dan mencari hal positif lain karena dia tahu kenyataan itu sudah berlalu, jadi dia sekarang tak memikirkannya lagi.
Sebagaian anak broken home/ broken family ada yang sudah menghadapinya dengan mengubah mata angin kehidupan dengan menjadi anak yang bertingkah nakal,
Sebagian pula ada anak broken home/ broken family yang sedang menghadapinya sampai tidak tahu hal apa yang harus dilakukannya selain memerdulikan keluarga satu-satunya itu – seperti aku.
Jadi itulah alasanku.
Aku tidak mempunyai alasan-alasan lain selain alasan di atas tadi.

Jika kau berkata bahwa alasan itu basi, tentu tidak basi karena aku masih menghadapi kenyataan itu.
Jika kau berkata bahwa tidak ada alasan lain selain itu maka dengan jujur aku menyetujuinya karena aku hanya memiliki alasan itu.
Kau sudah tahu kan alasanku bertindak apatis?

Jelas,
Ketikan huruf-huruf diatas terlihat dibuat-buat, tapi tidak. Aku mengetiknya secara jujur, faktual, dan jelas tidak dibuat-buat.
Aku tahu walau aku sudah memberi alasanku kenapa bisa bertindak apatis juga pasti tidak lantas menghapus cap diriku sebagai manusia-paling-apatis.

Aku berusaha untuk menghilangkan cap elma-si-manusia-apatis pada diriku ini.

Untuk hati yang tergores karena mungkin aku mengetik sesuatu yang salah di konten ini, aku meminta maaf.

Dan untuk kau/ kalian/ dia/ mereka,
Mohon maaf setulus-tulusnya juga dariku,
Dari seseorang yang kalian sebut manusia apatis.

Surakarta (dalam balutan senja yang sedih), 14 September 2018


P.s: Karena aku kata kau/ kalian/ dia/ mereka adalah makhluk apatis, aku sampai tidak mau bercerita kepada teman satu lingkaranku hanya karena aku tahu aku hanya akan menambah beban pikiran mereka dan aku lelah kenapa tidak ada satu orang pun yang bertanya kenapa aku bersedih hati sampai sejauh ini maka dari itulah blog menjadi tempatku mengadu selain Dia.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar